Dalam pidatonya, Menteri Yandri Susanto menegaskan satu hal sederhana namun kuat: “Stunting adalah PR kita semua.” Kalimat ini seolah mengetuk kesadaran kolektif bahwa pembangunan desa tidak sekadar urusan infrastruktur, jalan, atau kantor megah. Esensi pembangunan sesungguhnya terletak pada upaya menjaga agar setiap anak desa tumbuh sehat, cerdas, dan berdaya saing. Karena dari merekalah masa depan bangsa akan ditulis. Namun data yang muncul dari lapangan memberi kita tamparan realitas: baru sekitar 26 % desa di Indonesia yang benar-benar peduli dan aktif menangani persoalan stunting. Artinya, masih banyak desa yang berjalan dalam autopilot administratif, sekadar menunaikan kewajiban pelaporan tanpa benar-benar menumbuhkan gerakan sosial di akar rumput. Padahal, ketika desa bergerak dengan kesadaran, bukan sekadar kewajiban, maka perubahan dapat terjadi bahkan tanpa dana besar.
Penganugerahan ini bukan sekadar seremoni. Ia adalah cermin. Di dalamnya tergambar semangat, kerja keras, dan komitmen kepala desa, kader pembangunan manusia, pendamping desa, dan masyarakat yang menolak menyerah pada keadaan. Mereka membuktikan bahwa dengan kolaborasi, inovasi lokal, dan kepemimpinan yang berani mendengarkan, angka stunting bisa ditekan, dan martabat manusia desa bisa ditegakkan.
Lihatlah
bagaimana 15 desa yang menerima penghargaan itu menjadi simbol harapan. Bukan
karena dana tambahan Rp 10 juta yang mereka peroleh, tetapi karena nilai
simbolik di baliknya: bahwa kerja baik, sekecil apa pun, tidak pernah sia-sia.
Bahwa gotong royong masih bisa menjadi jantung pembangunan. Bahwa di antara
lautan pesimisme, selalu ada teladan yang bisa menginspirasi desa-desa lain.
Pendamping Desa di seluruh Indonesia seharusnya melihat momentum ini bukan sebagai perlombaan, melainkan sebagai ruang refleksi. Sudahkah pendampingan kita menumbuhkan kesadaran kolektif di masyarakat? Sudahkah kita membantu kepala desa membaca persoalan dengan kacamata manusia, bukan sekadar indikator kinerja?
Permendes No. 2 Tahun 2024 memberi ruang fleksibilitas bagi desa untuk menentukan prioritas penggunaan Dana Desa. Ini adalah peluang emas, namun juga ujian moral. Fleksibilitas bisa menjadi pintu bagi inovasi, tapi juga bisa tergelincir menjadi pembenaran untuk mengabaikan isu kemanusiaan. Di sinilah kepemimpinan kepala desa dan integritas pendamping diuji. Apakah dana digunakan untuk yang mendesak bagi rakyat, atau yang menguntungkan secara politik?
Desa yang menginspirasi bukanlah desa yang sempurna. Ia adalah desa yang berani belajar, mengakui kekurangan, dan bergerak bersama rakyatnya. Desa seperti itu akan menjadi “sekolah kehidupan” bagi seluruh warganya. Setiap kegiatan posyandu, gotong royong membersihkan saluran air, atau musyawarah kecil tentang gizi anak, bisa menjadi tindakan politik pembebasan yang halus—karena di situlah rakyat mengambil alih masa depan mereka sendiri.
Kita tidak perlu menunggu instruksi untuk berbuat baik. Setiap desa bisa memulai dari apa yang dimiliki. Jika tidak punya banyak dana, milikilah kepedulian. Jika tidak punya fasilitas lengkap, milikilah solidaritas. Karena sejatinya, pembangunan desa bukan dimulai dari uang, tapi dari kesadaran. Kesadaran bahwa setiap anak yang tumbuh sehat di desa hari ini adalah investasi terbesar bangsa untuk masa depan.
Maka, kepada semua Pendamping Desa, Kader Pembangunan Manusia, dan para Kepala Desa di seluruh pelosok negeri, jadikanlah momen ini sebagai pengingat: bahwa tugas kita bukan hanya menurunkan angka, tetapi menaikkan martabat manusia. Bahwa pembangunan yang sejati tidak bisa diukur dengan tabel Excel, tetapi dengan senyum anak-anak desa yang kini tumbuh tanpa takut kelaparan atau gizi buruk.
Penganugerahan ini hanyalah awal. Yang lebih penting adalah melanjutkan gerakan di lapangan, dengan hati, dengan ilmu, dan dengan cinta. Karena desa bukan sekadar ruang administratif di peta negara, desa adalah tempat di mana Indonesia sesungguhnya hidup dan akan bertahan. 9/10/2025
Ditulis Oleh:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar