Selasa, 12 Agustus 2025

MAKNA MERDEKA BAGI DESA Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan RI Dalam Pusaran Pembangunan, Kemiskinan, Dan Kemandirian

 



Beberapa hari kedepan, kita akan memperingati ke-80 tahun kemerdekaan RI. Delapan dekade bukan waktu yang singkat untuk perjalanan sebuah bangsa dalam memaknai arti “merdeka”. Karena merdeka sejatinya adalah cita-cita luhur para pendiri bangsa untuk mengantarkan rakyat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera, hidup yang damai dalam keadilan. Karenanya setiap kebijakan negara diarahkan untuk mewujudkan cita-cita bersama. 
 
Pada tahun ini juga merupakan satu dasa warsa implementasi Undang-undang Nomor 6 tahun 2014. Juga tahun pertama RPJMN periode 2025-2029 di era kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo Subianto. Asta Cita ke-6 yang kemudian menjadi program prioritas nasional, yakni membangun dari desa dan dari bawah untuk pertumbuhan dan pemerataaan ekonomi serta pemberantasan kemiskinan menunjukkan komitmen Pemerintah dalam membangun Desa. Desa-desa yang tersebar seluruh pelosok negeri merupakan pondasi dalam membangun negeri ini. Desa bukan sekadar entitas administratif terkecil dalam sistem pemerintahan Indonesia. Desa adalah garda terdepan dalam berbangsa, tempat lahirnya nilai-nilai luhur dan budaya, tempat ketahanan pangan dibangun, dan tempat masa depan bangsa dipertaruhkan. Maka, dalam menyambut usia 80 tahun Indonesia merdeka, kita perlu menggali lebih dalam: apa arti kemerdekaan bagi desa? Bagaimana desa dapat menjadi entitas yang benar-benar merdeka dari kemiskinan, ketergantungan, dan ketidakadilan? Bagaimana pembangunan desa mampu mewujudkan kemandirian, bukan ketergantungan baru.
 
Makna Kemerdekaan yang Substantif: Bebas dari Kemiskinan Struktural di Desa
Presiden pertama RI pernah mengatakan : "Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri". Kalimat ini relevan ketika kita melihat kenyataan bahwa kemiskinan di desa masih menjadi masalah serius meski berbagai program telah digelontorkan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hingga tahun 2024, lebih dari 13 juta penduduk miskin di desa. Dari jumlah desa 75.266 desa (Kepmendagri No.300.2.2-2138 tahun 2025), masih terdapat desa tidak dialiri listrik 3.246 desa dan desa sulit mengakses internet ada 22.544 desa (IDM 2024 dan Podes 2024). Namun jika dilihat dari tingkat perkembangan desa mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2015 Desa mandiri hanya 174 desa dan pada tahun 2024 meningkat menjadi 17.203 desa. Hal ini diikuti juga perkembangan desa dengan kategori maju dari 3.608 desa pada tahun 2015 menjadi 23.063 desa pada tahun 2024. Berikutnya desa yang berkembang dari 22.882 tahun 2015, menjadi 24.532 desa pada tahun 2024. Gambaran menggembirakan juga terjadinya penurunan yang signifikan dari desa yang tertinggal dan sangat tertinggal ; dari 33.592 dan 13.453 pada tahun 2015, turun menjadi 6.100 dan 4.363 pada tahun 2024 (Indek Desa Membangun Tahun 2024).
Selain keberhasilan dalam meningkatkan status desa, tentu kondisi kemiskinan ini menjadi sinyal bahwa masih perlunya strategi yang komprehensif dalam membangun desa. Kemerdekaan substantif bagi desa bukanlah soal pengibaran bendera atau lomba agustusan. Kemerdekaan sejati bagi desa adalah bebas dari kemiskinan struktural - kondisi kemiskinan yang diwariskan oleh kebijakan yang tidak berpihak, ketimpangan akses terhadap sumber daya, dan ketidakadilan dalam distribusi pembangunan-. Merdeka bagi desa berarti merdeka dari kemiskinan. Untuk itu, perlu reformulasi kebijakan yang bukan hanya melihat desa sebagai objek pembangunan, tapi sebagai subjek yang aktif, berdaulat, dan memiliki kesetaraan. Jika setelah 80 tahun merdeka, sebagian besar penduduk miskin Indonesia masih berada di desa, maka perlu reorientasi dan langkah konkrit dalam keberpihakan arah pembangunan nasional.
 
Desa dan Ketimpangan Pembangunan: Mencari Keadilan dalam Arsitektur Negara
Bung Hatta dalam pandangannya tentang desa, mengatakan bahwa Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di Desa. Pernyataan ini memberikan makna bahwa kekuatan dan kemajuan Indonesia sesungguhnya berasal dari desa sebagai basis kehidupan masyarakat dan pusat ekonomi kerakyatan, bukan hanya dari kota-kota besar seperti Jakarta. Desa menjadi pondasi penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Pentingnya pembagunan ekonomi desa yang rasional dan konkrit supaya desa dapat terhubung dengan kota secara resiprokal (saling menguatkan) dan ikut berperan dalam kemajuan bangsa
Selama bertahun-tahun dengan pendekatan pembangunan desa yang sentralistik, pembangunan di Indonesia lebih berpusat pada wilayah perkotaan, terutama di Pulau Jawa. Desa-desa di luar wilayah strategis seringkali hanya menjadi pelengkap statistik dan program jangka pendek. Konseptual "pembangunan berkeadilan" hanya menjadi jargon ketika desa-desa masih harus berjuang untuk infrastruktur dasar seperti jalan, listrik dan air bersih, Ketimpangan pembangunan ini menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi yang mencolok. Desa kehilangan banyak potensi manusianya karena urbanisasi paksa — bukan karena kesadaran, melainkan karena ketimpangan akses dan peluang. Anak-anak muda desa lebih memilih menjadi buruh di kota atau pekerja migran daripada menjadi pelaku utama pembangunan di tanah kelahirannya sendiri. 
 
Perjalanan UU Desa telah satu dasawarsa, namun desa masih menghadapi tantangan di berbagai bidang. Misalnya di bidang ekonomi dan investasi, masih rendahnya kapasitas PADes terhadap APBDes, rendahnya daya saing produk unggulan desa, kurang berkembangnya BUMDes dan BUMDes Bersama. Di bidang infrastruktur, masih terbatasnya aksesbilitas dan konektivitass baik fisik maupun digital. Di bidang sumber daya manusia, masih rendahnya kompetensi, kapabilitas, dan kapasitas aparatur desa, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat desa. Dari aspek lingkungan, masih minimnya kesadaran masyarakat desa terhadap perubahan iklim dan resiliensi bencana. Kemudian dari aspek sosial budaya, terjadi kecenderungan menurunnya nilai-nilai adat lokal sebagai kekayaan bangsa sekaligus modal pembangunan desa. Dan yang terakhir dari aspek tata kelola, permasalahan transparansi dan akuntabilitas serta sinergitas antar program masih sering mewarnai dalam pembangunan desa. Oleh karena itu, makna merdeka bagi desa adalah ketika negara benar-benar adil dalam alokasi pembangunan. Ketika tidak ada lagi desa yang ditinggalkan dalam narasi besar kemajuan bangsa. Ketika pembangunan bukan hanya soal membangun kota, tetapi juga membangun harapan dan martabat desa.
 
Dana Desa: Harapan dan Tantangan dalam Mewujudkan Kemandirian
Salah satu tonggak penting dalam perjalanan desa menuju kemandirian adalah hadirnya kebijakan Dana Desa sejak tahun 2015. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan ruang baru bagi desa untuk tumbuh secara otonom, berdasarkan potensi dan kearifan lokal. Pemberian Dana Desa yang langsung ditransfer ke Desa, diharapkan dapat menjadi “darah segar” yang mengalir ke Apbdes menguatkan sumber keuangan desa. Dana Desa diharapkan menjadi stimulus dalam menggerakkan potensi dan asset Desa. Pada tahun 2015 telah disalurkan 20,70 Trilyun, yang terus meningkat setiap tahunnya hingga tahun 2024 total mencapai Rp 609,9 Trilyun (Kemendesa dan PDT, 2025). Berbagai capaian penggunaan Dana Desa sejak tahun 2015 hingga tahun 2024, diantaranya dalam upaya menunjang aktivitas ekonomi masyarakat ; jalan desa sepanjang 366.080 km, jembatan sepanjang 1.947.785 m, pasar desa sebanyak 14.752 unit, BUMDesa terbentuk 43.245 unit kegiatan, dan tambatan perahu sebanyak 9.330 unit. Kemudian yang berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat desa, telah terbangun air bersih sebanyak 1.775.479 unit, MCK sebanyak 545.320 unit, polindes sebanyak 27.015 unit, PAUD sebanyak 96.163 kegiatan, Posyandu sebanyak 46.611 unit dan drainase sepanjang 54.105.061 meter (Kemendesa dan PDT, 2025).
Lantas, apakah Dana Desa otomatis memerdekakan desa? Faktanya, tidak sedikit desa yang belum mampu mengelola dana ini secara optimal. Banyak faktor yang memengaruhi, mulai dari kapasitas sumber daya manusia aparatur pemerintah desa, keterbatasan kemampuan perencanaan, hingga praktik-praktik koruptif oleh oknum. Bahkan, dalam beberapa kasus, Dana Desa justru menimbulkan ketergantungan baru pada pemerintah pusat. Desa menjadi seolah-olah menunggu kucuran dana setiap tahun untuk melaksanakan pembangunan, bukan entitas mandiri yang mengelola sumber dayanya sendiri. Padahal filosofi pemberian Dana Desa diharapkan menjadi stimulant untuk menggerakkan berbagai potensi dan asset desa untuk menghasilkan sumber-sumber kekuangan baru bagi pembangunan dan kesehateraan masyarakat. Maka, makna merdeka bagi desa adalah ketika Dana Desa tidak hanya menjadi instrumen fiskal, tapi menjadi alat transformasi ekonomi, sosial, dan budaya desa. Ketika Dana Desa digunakan bukan hanya untuk membangun fisik, tetapi membangun manusia dan membangkitkan produktivitas masyarakat. Kemerdekaan desa terletak pada kemandirian, dan kemandirian tidak datang dari pemberian, melainkan dari kesadaran kolektif untuk mengelola aset, mengembangkan potensi, dan menjaga nilai-nilai gotong royong sebagai kekuatan sosial masyarakat desa.
 
Kemandirian Desa: Pilar Kemerdekaan Sejati
Kemandirian desa adalah indikator utama bahwa desa telah benar-benar merdeka. Kemandirian bukan berarti desa menutup diri, tetapi memiliki kemampuan untuk mengelola kehidupannya sendiri, yang ditandai dengan kemampuan membina kehidupan demokrasi dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan masyarakat, berdaya dalam mengelola ekonomi sebagai sumber kesejahteraan, serta mampu menjaga dan merawat modal sosial dan budaya sebagai kearifan lokal, dengan tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemandirian ekonomi desa misalnya, dapat dilihat dari bagaimana desa mampu mengembangkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang bukan hanya formalitas, tetapi benar-benar menjadi motor penggerak ekonomi desa. Dan pada saat ini juga sedang dikembangkan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) sebagai lembaga ekonomi lain selain BUMDes. Namun keduanya memiliki tujuan, peran dan fungsi yang sama-sama, ingin mengembangkan perekonomian bagi masyarakat desa. Ketika BUMDes dan KDMP mampu membuka lapangan kerja lokal, meningkatkan pendapatan asli desa, dan memperkuat ekosistem usaha masyarakat, maka kemerdekaan itu nyata terasa.
Kemandirian sosial-budaya juga penting. Desa harus menjadi penjaga nilai-nilai luhur bangsa: gotong royong, solidaritas, dan kearifan lokal. Ketika budaya desa justru tercerabut oleh hegemoni budaya luar, maka desa kehilangan jiwanya. Maka, merdeka berarti juga berdaulat dalam kebudayaan.Sedangkan kemandirian demokrasi (politik) berarti desa memiliki ruang untuk menyuarakan aspirasinya, bebas dari tekanan politik elit, dan memiliki perangkat pemerintahan yang profesional, partisipatif, dan transparan. Kehidupan demokrasi tumbuh dan terpelihara yang tercermin keterlibatan masyarakat secara aktif dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis di desa.
 
Tantangan Globalisasi dan Peran Generasi Muda Desa
Memasuki usia 80 tahun kemerdekaan, Indonesia juga tengah menghadapi tantangan besar: globalisasi, digitalisasi, perubahan iklim dan lingkungan. Desa tidak bisa hanya menjadi penonton dan obyek dari perubahan ini. Desa harus menjadi bagian dari solusi. Generasi muda desa harus dilibatkan secara aktif dalam transformasi ini. Sayangnya, saat ini banyak pemuda desa yang merasa tidak punya masa depan di desa. Padahal, dengan teknologi digital, potensi desa bisa dipasarkan ke seluruh dunia. Produk UMKM desa bisa dipasarkan secara daring, pertanian bisa diintegrasikan dengan sistem pertanian cerdas (smart farming), dan pariwisata desa bisa menjadi sumber devisa baru. Kemerdekaan bagi desa adalah ketika pemudanya tidak lari ke kota, tapi pulang membangun desanya dengan kreativitas dan teknologi. Ketika anak-anak muda melihat desa bukan sebagai tempat keterbatasan, tetapi sebagai ruang kemungkinan.
Kemerdekaan juga harus dimaknai dari sisi ekologis. Banyak desa yang saat ini menjadi korban eksploitasi sumber daya alam. Perusahaan tambang, industri sawit, dan proyek-proyek besar seringkali merusak ruang hidup warga desa, memaksa mereka kehilangan lahan, air, dan udara bersih. Masyarakat Desa seolah tidak berdaya ketika menghadapi para pemilik modal yang sedang mengeksploitasi sumber daya alam yang selama ini menjadi bagian dari ruang kehidupannya. Karenanya, diperlukan advokasi dan perlindungan kepada Desa-Desa yang berada di daerah tambang, kawasan konservasi, perkebunan, agar bisa hidup berdampingan tanpa harus merasa dikorbankan atas nama pembangunan. Desa yang merdeka adalah desa yang mampu mempertahankan kelestarian lingkungannya. Desa yang berdaulat atas tanah, air, dan hutan mereka. Desa yang tidak tunduk pada kepentingan pemodal, tetapi memegang teguh prinsip pembangunan berkelanjutan. Pembangunan tidak boleh merusak. Sebab begitu ekologi rusak, maka seluruh sendi kehidupan desa akan runtuh. Maka kemerdekaan ekologis menjadi bagian penting dari narasi besar kedaulatan desa.
 
Desa di Tahun ke-80 Kemerdekaan: Saatnya Bangun Desa untuk Indonesia
Memperingati ke-80 Kemerdekaan Indonesia, harus menjadi ruang refleksi dan titik balik memahami pembangunan desa. Membangun dari Desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan harus dioperasionalkan secara nyata, konkrit dan terukur sebagai bentuk komitmen membangun Desa. Dengan dua belas rencana aksi Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dalam bangun desa, bangun Indonesia yang meliputi, revitalisasi BUMDes dan pembentukan KDMP untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dan mendukung makan bergizi gratis (MBG), swasembada pangan, energi, air dan papan, hilirisasi produk unggulan desa, pengembangan desa ekspor, pemuda dan pemudi pelopor desa, sinkronisasi dan konsolidasi program K/L masuk desa, digitalisasi desa dan pengembangan desa wisata, peningkatan investasi desa melalui pola kemitraan nasional dan investaasi luar negeri, penguatan pengawasan dan tata kelola pembangunan desa, desa berketahanan iklim, tangguh bencana dan bebas sampah, serta percepatan pembangunan daerah tertinggal, merupakan wujud komitmen menjalankan Asta Cita Bapak Presiden Prabowo.
Ini adalah peluang emas untuk benar-benar menjadikan desa sebagai motor pembangunan nasional. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan pro-desa bukan hanya janji, tapi implementasi konkret yang terukur. Pendampingan desa harus ditingkatkan kualitasnya. Kapasitas SDM desa harus dikuatkan. Kolaborasi dengan perguruan tinggi, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus ditingkatkan. Kita tidak bisa menunggu lebih lama. Kemerdekaan ke-80 harus menjadi momentum sejarah bagi bangkitnya desa sebagai pusat peradaban baru bangsa. Bangun Desa, Bangun Indonesia 12/082025
 
Oleh: Sugito, S.Sos, MH
Staf Ahli Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal  Bidang Hubungan Antar Lembaga, Kemendesa dan PDT dan juga Pj Gubernur Babel 2024-2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar